Kamis, 23 Desember 2010

Wajahmu Kepolisian?

     Mari mulai tulisan ini dengan cerita pendek Saya tentang pengalaman dengan institusi kepolisian. Hari itu sekitar bulan Juni 2010, penulis tengah melakukan perjalanan mengendarai sepeda motor di kota Purwokerto melalui jalan HR.Bunyamin terus melaju ke selatan hingga tiba di persimpangan (trafic light) Kebon Dalem, begitu warga kota akrab menyapanya. Selang beberapa detik, lampu hijau menyala penulis pun bergegas memacu sepeda motor berlajalan lurus ke arah Kebon Dalem, tanpa memerhatikan situasi sekitar. Tidak berapa lama setelah masuk ke ruas jalan sekitar Kebon Dalem, Penulis dihadang oleh seorang Polisi. Polisi tersebut bertanya, “apa anda tahu pelanggaran yang anda lakukan?”. dengan yakin Saya katakan “tidak tahu Pak”. “Anda melanngar, ini kan ferboden!”, dengan nada keras Polisi itu menyadarkan bahwa ini memang jalan yang terlarang untuk dilalui. Sebagai warga pendatang yang belum genap 6 bulan tinggal di Kota tersebut, Penulis merasa wajar untuk tidak mengetahuinya dan bersedia menerima sanksi. Proses pemberian sanksi pun terjadi dengan pmberian surat tilang lengkap dengan jadwal persidangan yang akan digelar. Mengejutkan, pada saat penulis mencoba untuk ingkar dengan menolak untuk masuk dalam proses persidangan, oknum Polisi tersebut menawarkan sejumlah daftar harga layaknya menu restoran dengan spesifikasi pelanggaran dengan jumlah uang yang harus dibayarkan jika seseorang menolak masuk dalam proses persidangan. Singkatnya, Penulis harus membayar Rp 120.000 jika ingin proses ini yang dipilih. Penulis pun memberikan sejumlah Rp 120.000 dan perkara selesai. Penulis dapat kembali melanjutkan perjalanan.
            Ironi. Setengah abad lebih Kepolisian RI berdiri dan masalah semacam ini belum juga mendapatkan jawaban. Reformasi administrasi di tubuh Kepolisian bukan hal baru rasanya di kalangan elit dan di telinga kaum akademisi, namun apa yang sesungguhnya dilakukan dalam program reformasi Kepolisian?, pertanyaan ini mungkin terjawab jika salah satu ukurannya adalah administrasi di jalan umum. Pengalaman penulis telah menunjukkan bahwa administrasi atas sistem tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Patut pula diakui, bahwa dalam cerita tadi terdapat upaya penulis untuk ingkar, akan tetapi manakala seorang polisi sebagai bagian dari sistem melaksanakan fungsinya dengan baik, tentu 120.000 bagi penulis dan 120.000 bagiyang lain tidak akan terjadi.
            Berbicara reformasi Kepolisian, penggunaan sistem informasi berbasis Information Tecnology mungkin suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Akan berbeda tentunya, manakala kasus yang dialami penulis tadi langsung diinput melalui proses teknologi dan masuk langsung ke daftar sidang di Pengadilan Negeri setempat. Tentunya kemungkinan terjadi penyimpangan semacam itu akan makin dapat ditekan.

1 komentar: